Pasal 1
Dalam Undang-Undang
ini yang dimaksud dengan:
1.
|
Pornografi
adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum,
yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat.
|
2.
|
Jasa
pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang
perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel,
televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik
lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
|
3.
|
Setiap
orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
|
4.
|
Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
|
5.
|
Pemerintah
adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
|
6.
|
Pemerintah
Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
|
Pasal 2
Pengaturan pornografi
berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat
kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan
terhadap warga negara.
Pasal 3
Undang-Undang ini
bertujuan:
a.
|
mewujudkan
dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian
luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta
menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
|
b.
|
menghormati,
melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual
keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;
|
c.
|
memberikan
pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
|
d.
|
memberikan
kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama
bagi anak dan perempuan; dan
|
e.
|
mencegah
berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
|
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1)
|
Setiap
orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara
eksplisit memuat:
|
||
|
|||
|
|||
|
|||
|
|||
|
|||
|
(2)
|
Setiap
orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
|
||
|
|||
|
|||
|
|||
|
Pasal 5
Setiap orang dilarang
meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang
memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi
kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap orang dilarang
mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
Setiap orang dilarang
dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang
mengandung muatan pornografi.
Pasal 9
Setiap orang dilarang
menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan
pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang
mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang
menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang
bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11
Setiap orang dilarang
melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang
mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau
memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Pasal 13
(1)
|
Pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan
perundang-undangan.
|
(2)
|
Pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
|
Pasal 14
Ketentuan mengenai
syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk
pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan
pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 15
Setiap orang
berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak
terhadap informasi pornografi.
Pasal 16
»
(1)
|
Pemerintah,
lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau
masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan
sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku pornografi.
|
(2)
|
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial,
kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
|
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 17
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.
Pasal 18
Untuk melakukan
pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a.
|
melakukan
pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa
pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
|
b.
|
melakukan
pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi;
dan
|
c.
|
melakukan
kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari
luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi.
|
Pasal 19
Untuk melakukan
pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang:
a.
|
melakukan
pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa
pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di
wilayahnya;
|
b.
|
melakukan
pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di
wilayahnya;
|
c.
|
melakukan
kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
|
d.
|
mengembangkan
sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi
di wilayahnya.
|
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 20
Masyarakat dapat
berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi.
Pasal 21
(1)
|
Peran
serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan
cara:
|
||
|
|||
|
|||
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
Pasal 22
Masyarakat yang
melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a
berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI
SIDANG PENGADILAN
Pasal 23
Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran
pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 24
Di samping alat bukti
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk
juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas
pada:
a.
|
barang
yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik
elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan
|
b.
|
data
yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
|
Pasal 25
»
(1)
|
Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan
membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan
internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik
lainnya.
|
(2)
|
Untuk
kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa
layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik
yang diminta penyidik.
|
(3)
|
Pemilik
data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah
menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data
elektronik dari penyidik.
|
Pasal 26
Penyidik membuat
berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim
turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau
penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.
Pasal 27
»
(1)
|
Data
elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa
dilampirkan dalam berkas perkara.
|
(2)
|
Data
elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat
dimusnahkan atau dihapus.
|
(3)
|
Penyidik,
penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah
jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
|
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 28
»
(1)
|
Pemusnahan
dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
|
(2)
|
Pemusnahan
produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut
umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
|
||
|
|||
|
|||
|
|||
|
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 29
Setiap orang yang
memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau
menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah).
Pasal 30
Setiap orang yang
menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang
meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang
memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang
mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima
ratus juta rupiah).
Pasal 34
Setiap orang yang
dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang
mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 35
Setiap orang yang
menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang
mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang
menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang
bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang
melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan
Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 38
Setiap orang yang
mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau
memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 39
Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33,
Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.
Pasal 40
»
(1)
|
Dalam
hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi,
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.
|
(2)
|
Tindak
pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orangorang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri
maupun bersama-sama.
|
(3)
|
Dalam
hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut
diwakili oleh pengurus.
|
(4)
|
Pengurus
yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili
oleh orang lain.
|
(5)
|
Hakim
dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap
sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya
pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
|
(6)
|
Dalam
hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap
dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat
tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
|
(7)
|
Dalam
hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara
dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap
korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana
denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
|
Pasal 41
Selain pidana pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana
tambahan berupa:
a.
|
pembekuan
izin usaha;
|
b.
|
pencabutan
izin usaha;
|
c.
|
perampasan
kekayaan hasil tindak pidana; dan
|
d.
|
pencabutan
status badan hukum.
|
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Untuk meningkatkan
efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas antar
departemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Presiden.
Pasal 43
Pada saat
Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang
yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang
berwajib untuk dimusnahkan.
Pasal 44
Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang
mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 45
Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 26
November 2008
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan Di
Jakarta,
Pada Tanggal 26
November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 181